Selasa, 04 Desember 2012

Bukan aku


Aku tak mau menggegammu terlalu erat
Tapi aku tak mampu menguasai diriku
Yang terlalu memilikimu
Ini bukan aku, sungguh

Aku terlihat gila
menahan jiwa yang tak ku kuasai
Aku tak mengenal diriku hari ini
Belenggu curiga mempermainkanku
Aku terlalu sayang

Aku ingin
Mencintaimu tanpa curiga
Mencintaimu tanpa memilikimu
Mencintaimu tanpa membelenggumu

Aku pasti bisa
Menghapus setan belenggu yang menguasai
Aku yakin bisa
Mencintaimu tulus tanpa rasa memiliki

Sabtu, 16 Juni 2012

Kritik Tajam AA Nafis Dalam Novel Nasihat-nasihat


Dalam cerpen Nasihat-nasihat AA Navis berusaha menggambarkan anak muda yang selalu meminta pendapat kepada orang tua karena pada umumnya orang tua dipandang lebih bijak dalam memberikan saran untuk memecahkan masalah karena pengalamannya dalam hidup lebih banyak, jadi pait manis kehidupan sudah dirasakannya. Ini adalah sebuah kungkungan adat yang berlangsung dalam tradisi masyarakat luas, tidak hanya dalam adat Minangkabau. Kebiasaan seperti ini biasanya sudah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat luas dimana semua anak muda meminta nasihat orang yang lebih tua agar hidupnya mampu berjalan dengan baik dan kesalahan yang pernah terjadi tidak lagi terulang.
Sangat tergambar jelas ada kungkungan adat yang AA Navis sampaikan dalam cerpen ini, melalui sosok orang tua. Sosok orang tua yang selalu penuh dengan nasihat yang bijak, karena pengalamannya akan hidup yang lebih dahulu, mengetahui segala jenis masalah yang terjadi dalam kehidupan, cepat mengambil keputusan dan kesimpulan  akan masalah yang terjadi karena ia menganggap sebuah maslah itu tipenya serupa dengan saat ia hidup dimasa itu. Inilah yang disebut sebuah kungkungan akan sebuah adat, karena ada hal diskriminasi yang ingin AA Navis sampaikan melalui novel ini, orang tua selalu benar dan anak muda harus mendengarkan nasihat orang tua, itulah yang terjadi dalam adat negara kita, tidak tertulis namun jika itu tidak ditaati maka akan ada hukuman sosial atau moral yang diberikan.
Tetapi disini AA Navis juga menyampaikan sebuah perlawanan melalui tokoh anak muda yaitu Hasibuan. Perlawanan yang digambarkan AA Navis juga tidak sebuah perlawanan yang terang-terangan seperti kedurhakaan Malinkundang. Anak muda ini tetap mengikuti aturan adat yang memang sudah berlaku di tempat ia tinggal. Saat mendapatkan sebuah kebimbangan ia selalu mendatangi tokoh orang tua yang dianggap sepuh untuk meminta nasihat, di dengarkan nasihatnya tetapi tidak di jalankan, hal itu berlangsung terus menurus. Sampai pada akhirnya hal itu dimenangkan Hasibuan karena nasihat-nasihat yang diberikan orang tua itu semuanya tidak tepat, tanpa disadari orang tua itu justru memuji hal yang telah dianggapnya buruk.
Sebuah kritik akan sebuah adat yang selalu berjalan dengan kaku akan membuat sebuah penafsiran yang salah. Ada hal yang baik dari orang tua memang lebih banyak pengalaman, banyak memakan asam garam kehidupan, namun ada hal yang terlupa perkembangan zaman itu akan mengubah pola pikir dan perilaku manusia. Mungkin ada ketidaksesuaian kondisi saat menerapkan pengalaman yang dahulu pernah terjadi pada konteks keadaan yang dialami saat ini. Hal ini tidak lantas membuat penafsiran bahwa kita anak muda tidak perlu mengikuti nasihat orang tua, mungkin penyesuaian yang harus ditekankan disini karena pada akhir cerpen tersebut ada sebuah kesimpulan kita jangan langsung berbicara hal yang belum pernah kita lihat.
Walaupun pola mendengarkan nasihat dari orang tua masih terjadi hingga saat ini, mungkin sudah banyak pola pemikiran yang berubah dari pola pemikiran yang awalnya ditangkap dengan sangat sederhana, saat ini jauh berkembang menjadi lebih baik. Pola komunikasi yang berkembang antara orang tua dan anak muda mulai berlangsung sedikit lebih santai, tidak ada lagi istilah yang menggurui, jika orang tua lebih benar karena pengalaman hidupnya lebih banyak. Hal yang lebih sering digunakan adalah kata berbagi pengalaman, dimana orang tua membagi pengalaman hidupnya kepada orang muda dan orang muda dapat memetik pelajaran dari pengalamannya dari yang baik ataupun buruk.
AA Navis juga menampilkan suatu kritik pada akhir cerita dimana orang tua sadar bahwa nasihat yang diberikannya kepada anak muda itu adalah salah, tetapi masih ada gengsi yang besar dalam diri orang tua tersebut karena merasa ia orang tua tidak pernah salah, hal ini nampak jelas dengan penggambaran masuknya orang tua kedalam kamar dan membanting pintu. Orang tua memang menjadi orang yang benar, karena tidak ada orang tua yang nasihatnya ingin menjerumuskan tetapi harus diingat satu hal bahwa orang yang benar itu bukan berarti orang yang semmpurna. Waktu ia merasa memiliki kesalahan sebaiknya meminta maaf, jadi ada rasa saling menghormati yang lebih besar dari pada sekedar menggurui mana yang paling benar dan mana yang salah.

Minggu, 15 April 2012

APRESIASI DAN KREASI SASTRA DALAM CERPEN ORANG-ORANG BLOOMINGTON

Jhosua Karabish


2.1 Biografi Budi Darma

budi_darma.jpg               orang-orang bloomington.jpg       

Budi Darma lahir tanggal 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah. Ia anak keempat dari enam bersaudara yang semuanya laki-laki. Kedua orang tuanya berasal dari Rembang. Ayahnya bernama Munandar Darmowidagdo dan bekerja sebagai pegawai kantor pos. Ibunya bernama Sri Kunmaryati. Karena pekerjaan ayahnya, Budi darma sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya, antara lain di bandung, Yogyakarta, dan Semarang.
Budi Darma menikah pada tanggal 14 Maret 1968 dengan Sitaresmi, S.H., yang lahir 7 September 1938. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Diana (lahir di Banyuwangi, 15 Mei 1969), Guritno (lahir di Banyuwangi, 4 Februari 1972), dan Hannato Widodo (lahir di Surabaya, 3 Juni 1974).
Budi Darma menempuh pendidikan di berbagai kota. Pendidikan sekolah dasar diselesaikannya tahun 1950 di Kudus, Jawa Tengah. Sekolah menengah pertama diselesaikannya tahun 1953 di Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, pendidikan sekolah menengah atas (SMA) diselesaikannya di Semarang tahun 1956. Setamat SMA, Budi Darma meneruskan kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1963. Judul skripsinya adalh Tragic Heroes in The Plays of Marlowe. Selama satu tahun (1967) ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Pada tahun 1970       1971 ia mendapat beasiswa dari East West Centre untuk belajar ilmu budaya dasar (basic humanities) di Universitas Hawai, Honolulu, Amerika Serikat. Pada tahun 1975 meraih gelar M.A. dari Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, yang judul tesisnya adalah Tha Death and The Alive, dan tahun 1980 di universitas yang sama ia meraih gelar Ph.D. dengan judul disertasinya Character and Moral Jugment in Jane Austin’s Novel.
Setelah tamat dari Jurusan Satra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, (1963) sampai sekarang, Budi Darma mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) (dahulu IKIP Surabaya). Selain sebagai dosen, Budi Darma juga pernah menjabat Ketua Jurusan Sastra Inggris (1966—1970 dan 1980—1984), Dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (1963—1966 dan 1970—1974), dan Rektor IKIP Surabaya (1984—1988). Tahun 1980 ia menjadi visiting associate research di Universitas Indiana.
Budi Darma tercatat sebagai anggota Modern Language Association (MLA), New York (1977—1990). Nama Budi Darma tercatat dalam buku Who’s Who in The World (1982—1983).
Sumbangan Budi Darma kepada kehidupan sastra sangat besar. Dalam kerangka kerja sama Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari Brunai Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah Program Penulisan Mastera (1998—1999). Budi Darma juga terlibat dalam pembimbingan berbagai lokakarya dan penataran sastra bagi pegawai Pusat Bahasa dan dosen muda dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Hasil karya Budi Darma berbentuk cerita pendek, novel, esai, dan puisi yang tersebar di berbagai media massa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Budi Darma dianggap memelopori penggunaan teknik kolase, yaitu teknik penempelan potongan iklan bioskop dan tiket pertunjukan dalam karya-karyanya, seperti Orang-Orang Bloomington dan Olenka. Berikut ini adalah karya Budi Darma.
1. Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen, 1950)
2. Ny. Talis (novel, 1983)
3. Olenka (novel, 1997)
4. Rafilus (novel, 1988)
5. Sejumlah Esai Sastra (kumpulan esai, 1984)
6. Solilokui (kumpulan esai, 1983)
7. Harmonium (kumpulan esai, 1996)
8. Derabat (cerpen, 1999)
9. The Legacy karya Intsi V. Himanyunga (terjemahan, 1996)
10. Sejarah 10 November 1945 (1987)
11. Culture in Surabaya (1992)
12. Modern Literature of ASEAN (2000)
13. Kumpulan Esai Sastra ASEAN (Asean Committee on Culture and Information)
Beberapa karya Budi Darma yang berbentuk cerita pendek pernah ditransformasikan dalam bentuk drama, yaitu “Orez”, yang dipentaskan mahasiswa ISI Yogyakarta, dan “Kritikus Adinan”, yang dipentaskan mahasiswa STSI Bandung).
Karena peranannya dalam sastra, Budi Darma mendapat hadiah dan penghargaan dari berbagai pihak. Berikut ini hadiah/penghargaan yang diterima Budi Darma.
  1. Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Naskah Roman Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya Olenka (1980)
  2. Penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya, Olenka, sebagai novel terbaik (1983)
  3. Penghargaan Sea Write Award dari pemerintah Thailand atas karyanya yang berjudul Orang-Orang Bloomington (1984)
  4. Penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia (1993)
  5. Penghargaan dari Kompas atas cerpennya, “Derabat”, sebagai cerpen terbaik (1999)

2.2 Sinopsis Cerpen Joshua Karabish

seorang pemuda yang bernama Joshua Karabish yang berteman dengan “Saya”. Pertemanan “saya” dengan Joshua bermula dari acara pembacaan puisi, “saya” tidak membacakan sajaknya sendiri seperti yang orang lain lakukan dengan alasan “saya menyatakan bahwa saya bukan penyair, karena itu paling-paling saya hanya becus membacakan sajak orang lain”[1]. Dengan pernyataan “saya” itu membuat Joshua gembira dan merasa kagum terhadap “saya”. “saya” tidak pernah mengetahui jika Joshua mengidap suatu penyakit. Namun Setelah tinggal sekamar akhirnya “saya“ mengetahui bahwa Joshua mengidap suatu penyakit yang aneh. Setiap malam tidurnya mengerang-erang kesakitan, terkadang keluar lendir dari tellinganya dengan bau busuk dan keluar darah amis dari hidungnya. Joshua mengatakan bahwa penyakitnya tidak menular. Meskipun demikian hal tersebut lama-lama mengganggu “saya” karena setiap serangan itu datang, sepanjang malam dia mengerang dan melilit-lilit. Hingga pada suatu kesempatan Joshua Pamit untuk mengunjungi ibunya, dengan meninggalkan kumpulan puisinya yang dianggap paling baik alasannya agar Joshua selalu terpacu untuk menulis sajak yang lebih baik. Lama tidak ada kabar setelah kepergian Joshua, tiba-tiba ibu Joshua mengirim surat yang menyatakan bahwa Joshua telah meninggal. Ibu Joshua meminta agar barang-barang Joshua dikirimkan kepadanya, namun “saya” tidak mengirimkan kumpulan sajak Joshua karena “saya” tertarik membacanya. Tidak lama kemudian, “saya” mengalami rasa sakit yang sama seperti penyakit yang diderita oleh Joshua. Hal ini membuat “saya” gusar kepada Joshua karena takut tertular penyakit Joshua yang menjijikan itu. Di lain hal “saya” mempunyai konflik dengan batinnya sendiri karena merasa bersalah telah mengganti sajak karya Joshua dengan namanya dalam lomba penulisan puisi yang diselenggarakan oleh MLA.

2.3 Unsur-Unsur Cerpen Joshua Karabish

2.3.1 Tema
            Tema yang diangkat dalam cerpen Joshua Karabish adalah kekerasan hidup. Hal ini dapat dilihat penggambaran hidup Joshua yang sulit.
 “Ny. Seifert mengaku terus terang bahwa selama ini Joshua menunggak sewa kamar”[2]
“Joshua memang mengatakan terang-terangan kepadra saya, bahwa teman-teman seapartemennya tidak menyukainya, dan sudah sering secara halus maupun agak kasar mereka berusaha untuk mengusirnya.”[3]

2.3.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh-tokoh yang terdapat pada cerpen Orang-Orang Bloomington, yaitu:
Saya                                       
Joshua Karabish                   
Ny. Seifert                             
Ibu Joshua                             
Cathy                                     
Teman-teman seapartemen
Dokter                                               
Dokter White                        
Sekertaris MLA                     
Presiden MLA                                   
Antonio Buero Vallejo         
Christine Brooke-Rose        
John Kerouack                      
Allen More                            
Judith Anderson                   
Nins Vlastos                          
Lary Zinker                           
Penokohanlah dalam cerpen ini, yaitu:
a)  Protagonis
            Tokoh yang berperan sebagai protagonis adalah Joshua Karabish. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya porsi yang diceritakan “saya” tentang tokoh Joshua Karabish. Sebagai pusat tokoh, Budi Darma menggambarkan sosok Joshua Karabish sangat gambalang, Joshua yang dikisahkan nyaris tidak memiliki kelebihan kecuali selalu kekurangan uang, minder, tak punya teman, mengidap penyakit kronis yang membawanya ke alam baka.[4] Dapat dilihat dari kutipan berikut “Mungkin saya sanggup menulis puisi baik, tapi seperti yang kau ketahui sendiri karena rupa saya buruk dan memang dasar kepribadian saya tidak menarik, setiap orang cendrung menertawakan saya”[5]. Tetapi Joshua memiliki nurani dengan sikapnya yang rendah hati, tahu diri, dan tabah. Ia tidak pernah membanggakan dirinya sekalipun ia banyak sekali menulis puisi. “Ketika saya bertanya apakah kira-kira pada suatu saat kelak dia akan menerbitkan puisinya, dia nampak bimbang, kemudian berkata, bahwa kalau tokh dia menerbitkannya, dia tidak mau menggunakan namanya sendiri”[6]. Ia hanya mengatakan lewat tokoh “saya” ia sosok yang tidak memiliki kepribadian sebagai syarat mutlak seseorang menjadi penyair. Ia mengaku orang bodoh yang kebetulan suka menulis puisi. Pandangan ideal tentang penyair dan karyanya yang dipahaminya dengan baik ini tidak membuatnya sombong kepada siapa pun. Ia hanya menulis tanpa pretensi apa-apa. Justru tokoh “saya” dengan culas mengganti nama dirinya atas puisi-puisinya dalam lomba penulisan puisi ketika Joshua sudah meninggal. Alhasil, puisi karya Joshua menang. Namun disini “Saya” benar-benar terlihat memiliki rasa bersalah yang sangat besar terhadap Joshua. Dapat terlihat dari kutipan cerpen ini “Meskipun saya banyak berdebat dengan diri sendiri, saya tetap tidak bisa menghilangkan perasaan tidak layak mengaku sajak-sajak Joshua sebagai tulisan saya sendiri”[7]. Pembaca dapat menghayatinya bahwa dari sosok invalid dan menjijikkan ini justru bisa membuat terharu. Ada mutiara dalam sosok yang bahkan bagi ibu dan kakaknya sendiri dianggap manusia tidak berguna ini.

b)  Antagonis
            Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menghalangi tujuan tokoh utama dan bertentangan dengan tokoh utama. Dalam cerpen ini ada teman-teman Joshua yang menjadi tokoh antagonis, karena mereka bertentangan dengan Joshua dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut “Mereka semua kasar. Mereka suka sepak bola, tinju, film-film kasar di televisi dan musik-musik keras. Sebaliknya Joshua adalah orang yang halus, lembut, suka puisi, music klasik, opera dan lain-lain yang dibenci mereka”.[8]  Dan pada akhir cerita, tokoh pencerita “saya” juga menjadi tokoh yang antagonis  menghalangi tujuan tokoh utama dengan menjiplak karya-karya Joshua setelah Joshua meninggal, dapat dilihat dari kutipan “Dalam keadaan inilah saya putuskan untuk mengetik kembali kutipan naskah Joshua secara lebih rapi kemudian mengirimkannya ke MLA. Dan nama sayalah yang saya cantumkan sebagai penyairnya”. Walaupun pada akhirnya tokoh “saya” memiliki rasa bersalah yang teramat kepada Joshua, karena telah mengirimkan puisi Joshua atas namanya.

c)   Tirtagonis
                Tokoh tirtagonis adalah tokoh yang netral dalam cerita yaitu, Ny. Seifert, Ibu Joshua, Cathy, Dokter, Dokter White, Sekertaris MLA, Presiden MLA, Antonio Buero Vallejo, Christine Brooke-Rose, John Kerouack, Allen More, Judith Anderson, Nins Vlastos, dan Lary Zinker       .          

2.3.3 Alur Cerita
            Alur cerita dalam cerpen Orang-Orang Bloomington menggunakan alur mundur. Hal ini dikarenakan tokoh penecerita “saya” menceritakan kehidupan Joshua Karabish setelah Joshua meninggal dunia, dan “saya” menceritakan ulang perjalanannya bertemu Joshhua sampai kehidupannya setelah Joshua meninggal.

2.3.4 Latar Cerita
Latar tempat yang terdapat dalam cerpen Orang-Orang Bloomington digambarkan secara netral yaitu Indiana Bloomington (Amerika Serikat), Martinsville, Elletsville, Bedford. Latar waktu ada yang digambarkan secara abstrak yaitu suatu hari[9], pada suatu malam[10], esok harinya[11], tetapi ada pula latar waktu yang digambarkan secara konkret yaitu selasa malam[12], akhir minggu pertama bulan Desember[13], sekitar tahun 1970.

2.3.5 Sudut Pandang
            Sudut pandang dalam cerpen ini yaitu orang ketiga pelaku utama karena pengarang berada diluar cerita dan tidak terlibat didalamnya, hanya sekedar menceritakan tokoh yang ada dalam cerita tersebut.
“Dari ibunya, saya menerima surat yang mengabarkan bahwa Joshua Karabish sudah meninggal”[14]
“Ketika saya membantu Joshua mengangkuti barang-barangnya dari apartemennya ke kamar saya, teman-teman seapartemennya menunjukkan perasaan puas”[15]

2.3.6 Gaya Bahasa
            Dalam cerpen ini menggunakan gaya bahasa dengan majas simile. Simile ialah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata pembanding, terdapat dalam kutipan cerpen berikut:
 “tenggorokan saya panas bagaikan dibakar”[16]
“hidung saya sakit seperti dimasuki lintah”[17]

2.3.7 Amanat
            Amanat yang dapat diambil dari cerpen Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma adalah saat kita hidup janganlah pernah merasa tidak percaya diri dengan kekurangan yang kita miliki sampai akhirnya dapat menutupi kelebihan yang kita miliki. Dan juga jangan pernah mengambil hak orang lain sekalipun orang itu sudah tiada. Karena dengan karyanya dia akan selalu dikenang selamanya.          





[1] Budi Darma, Orang-Orang Bloomington (Jakarta: Sinar Harapan, 1960), h. 23.
[2] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 28.
[3] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 22.

[4] Imam Muhtarom, “Jiwa Manusia Kota Dalam Cerpen,” Artikel diakses pada 3 April 2011 dari http://jurnalnasional.com/

[5] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 26.
[6] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 26.

[7] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 36.
[8] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 23.
[9] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 30.
[10] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 30.
[11] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 31.
[12] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 33.

[13] Darma, Orang-Orang Bloomington, h.35.
[14] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 21.

[15] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 22.

[16] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 30.

[17] Darma, Orang-Orang Bloomington, h. 30.


Kosong


 Terlihat senyum yang merona ditengah benci
Merontokkan benci dalam sekejap
Membuat rasa yang berbeda
Aku mencoba munafikkan diri

Fatamorgana dirinya menemani mimpi
Dalam nyanyian malam suaranya beralun merdu
Memecah sunyi yang tercipta
Membuatku mengidam idamkan sang fajar